KH Makruf Amin menuturkan terdapat empat hal yang menjadi dasar dalam cara berfikir warga NU yang menjadi ruh ketika NU berdiri dan menentukan sampai ke depan bagaimana NU yang akan datang.

Empat hal tersebut adalah yaitu pertama fikrah nahdiyyah atau cara berfikir NU, kedua NU bermazhab, ketiga NU menganut prinsip tatowwuriyah atau dinamis, keempat NU berprinsip islahiyyah atau melakukan perbaikan terus-menerus.

Hal ini disampaikan dalam diskusi Kamisan ( 14/10) NU Online yang juga dihadiri oleh Prof Dr Machasin, direktur pendidikan Islam dan Muhammad Al Fayyat, anak muda NU.
Kiai Makruf Amin menjelaskan fikrah nahdliyyah merupakan cara berfikir NU dalam memahami nash, mencari prinsip dari nash, mencari dasar hukum dari nash. Saat ini telah berkembang berbagai macam pemikiran, mulai dari radikal, tekstual, liberal dan lainnya yang semuanya menjadi tantangan bagi NU.

“Kalau aswaja menurut NU, selektif, sebab kita tidak mengikuti semua faham aswaja ini dan kita bermazhab. Saya menyebutnya tawassutiyah atau moderat. Kalau kelompok tekstualis ini tanpa penafsiran, kalau kelompok liberal kelewatan dalam penafsiran,” katanya.
Ciri kedua NU adalah bermazhab karena tanpa mazhab tidak ada frame. “Ini bidah yang paling berbahaya dalam menghancurkan Islam,” tandasnya. 

Mazhabnya pun dibatasi empat, tidak boleh lebih dari empat meskipun ada mazhab lainnya, karena yang lainseperti Sofyan Atsauri, Ibnu Uyainah, Al Auzai tidak memiliki metodologi berfikir yang jelas, hanya pendapat yang parsial.

Aspek ketiga NU adalah, tatowwuriyah atau dinamis. Artinya, kita sekalipun bermazhab, tidak kaku. Seperti diputuskan dalam Munas NU di Lampung tahun 1992 yang menetapkan cara bermazhabnya tak hanya koulan atau tekstual tetapi juga manhajan atau mengikuti metode berfikirnya para imam mazhab tersebut.

"Kebanyakan syariah keluar dari ijtihad. Ada yang sudah diselesaikan oleh ulama dahulu, ada yang belum sehingga harus berani melakukan ijtihad terhadap masalah yang belum dibahas, tetapi bisa juga masalahnya lama tetapi mengalami perubahan seperti yang terjadi pada masalah-masalah muamalah," paparnya.

Dijelaskannya, tradisi kalangan bermazhab juga begitu. Ada pendapat baru yang tidak sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh para pendiri mazhab, tetapi meskipun berbeda keputusannya, kalau dilihat dari cara berfikirnya, tak menyalahi metodologi sehingga tetap bisa dipakai sebagai rujukan.
“Mazhab empat sudah terlalu cukup, asal manhaji, bukan kouli atau mengikuti metode berfikirnya, bukan keputusan yang sudah ada. Semua bisa diselesaikan asal kita mau berfikir. Yang penting tidak statis dalam berfikir, tetapi tidak keluar dari frame. Ini cara berfikir,” jelasnya.

Aspek keempat adalah islahiyyah atau selalu melakukan selalu perbaikan. Melakukan pebaikan itu tak cukup hanya dengan wacana diawang-awang atau menulis buku saja, tetapi harus melalui tindakan kongkrit.

“Karena itu, disamping fikrah, ada harakah atau gerakan, yang kita sebut sebagai harakah islahiyyah, akidah yang tak betul dibetulkan, demikian pula perbaikan dalam bidang ibadah, akhlak, muamalah. ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik,” tandasnya.

Untuk masalah ekonomi, ia meminta dilakukan pemberdayaan dahulu pada masyarakat, baru pensyariahan. Tak mungkin dilakukan pensyariahan dahulu jika tak ada pemberdayaan karena masyarakat tak berdaya.

Upaya perbaikan juga harus dilakukan secara terus menerus, tak cukup hanya berjalan sebulan saja karena tak akan memiliki dampak jangka penjang. Selain itu, diharapkan mampu membuat perbaikan yang memiliki dampak tinggi. Ia mencontohkan nabi yang dalam 23 tahun mampu merubah masyarakata dari kaum jahiliyah menjadi khaira ummah karena apa yang dilakukan memiliki dampak yang tinggi.

Ketua Dewan Fatwa MUI ini menjelaskan, ia juga membidangi ekonomi syariah di MUI, disitu dilakukan sinergi antara ulama dengan pelaku ekonomi syariah dan regulator. Semua melakukan sinergi sehingga dihasilkan keputusan yang baik karena memperhitungkan semua aspek. (mkf)

Sumber : NU.OR.ID

 

Pamekasan, NU Online
Tanggal 12 Rabiul Awal menjadi tanggal bersejarah bagi seluruh umat Islam di dunia, karena saat itu nabi Muhammad SAW terlahir ke muka bumi ini sebagai nabi akhir zaman.
Kelahiran Nabi Muhammad seolah menjadi titik terang, serta memiliki makna tersendiri bagi umat Islam, karena selain sosok nabi yang memang memiliki pribadi baik, Nabi Muhammad kemudian ditunjuk menjadi penyampai informasi kebenaran atau risalah Allah kepada seluruh umat manusia dengan agama yang dibawanya, yakni Islam.
Sebagian Muslim di dunia, termasuk di Indonesia, lalu menjadikan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW ini sebagai hari yang sangat istimewa, dengan alasan karena dia merupakan sang revolusioner dan penunjuk ajaran kebenaran melalui agama yang disampaikannya.
"Anta syamsun, anta badrun, anta nurun, fauqo nuurin, artinya, engkau adalah matahari, engkau laksana rembulan, engkaulah cahaya diatas segala cahaya,". Demikian pujian Imam Ja¿far Al-Barjanzi Al-Madani, penulis kitab "Barzanji" yakni kitab yang berisi puji-pujian tentang Nabi Muhammad dan biasa dilantunkan sebagian umat Islam di Indonesia, termasuk di Pulau Madura saat acara Maulid Nabi.
Kekaguman Imam Ja'far Al-Barzanji dalam bentuk pujian ini, menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW memanglah sosok yang sempurna yang mampu menyinari umat manusia dengan wawasan keimanan dan keyakinan yang benar akan Islam.
Kelahiran Nabi Muhammad dipersepsi sebagai kelahiran peradaban dunia yang mampu mengubah tradisi yang cenderung statis menjadi lebih dinamis dan menghargai nilai-nilai kebenaran.
Kitab Barzanji sendiri merupakan kitab yang biasa dibacakan sebagian umat Islam saat menggelar perayaan Maulid Nabi. Kita ini sebenarnya merupakan syair yang berisi puji-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW.
Syiar Islam
Menurut dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan Matnin, M.EI, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang banyak digelar umat Islam di Indonesia khususnya di Pulau Madura, sebenarnya merupakan salah satu bentur syiar Islam saja.
Maulid Nabi, kata dia, bukan merupakan jenis ibadah tertentu, sebagaimana ibadah-ibadah yang telah ditetapkan dalam rukun Islam, seperti shalat, zakat, berpuasa di bulan Ramadhan serta ibadah haji.
Oleh karenanya, jenis perayaan ini, banyak mengalami modifikasi atau perubahan, bergantung pada keinginan warga yang hendak merayakannya.
"Jadi konteksnya dalam hal peringatan Maulid Nabi Muhammad ini sangat berbeda. Makanya, kita pahami ini sebagai syiar Islam, yakni suatu upaya yang dilakukan umat Islam untuk menghidupkan suasana yang bernuansa Islami," kata Matnin.
Matnin menuturkan, dalam berbagai ketentuan tektual normatif sumber hukum Islam, baik Al-Qur’an dan Hadits, tidak ada kalimat yang menjelaskan, bahwa Nabi Muhammad merayakan kelahirannya.
Namun demikian, tidak berarti bahwa memperingati kelahiran Nabi Muhammad merupakan bentuk kegiatan terlarang di dalam Islam. "Justru menjadi baik, apabila memang tujuannya untuk syiar Islam," katanya menambahkan.
Di sebagian masyarakat di Pulau Madura sendiri, peringatan Maulid Nabi tidak hanya dilakukan dengan cara mengumandangkan puji-pujian, akan tetapi tidak sedikit diantara mereka yang mengiringi dengan jenis musik tertentu, semisal musik hadrah.
Salah satunya seperti yang digelar umat Islam di Desa Bukek, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan.
Dalam acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang digelar di rumah warga bernama Heriyanto, justru peringatan Maulid Nabi Muhammad dengan iringan musik hadrah atau rebana.
Di kalangan umat Islam sendiri, peringatan Maulid Nabi Muhammad, memang masih terjadi perbedaan pendapat. Ada yang memperboleh, namun ada juga yang tidak memperbolehkan dengan alasan bidah, mempembarui ajaran Islam tanpa berpedoman pada Al-Qur’an dan hadist.
"Tapi senyampang tujuannya baik dan tidak berkaitan ibadah mahdah, yakni ibadah formal yang memang ditentukan langsung oleh Allah, sebenarnya tidak masalah," kata Matnin.
Status Sosial
Terlepas adanya perbedaan pendapat, dalam perkembangannya peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di sebagian masyarakat Madura, kini tidak murni lagi hanya sebatas untuk kepentinya syiar Islam, akan tetapi mulai bergeser menjadi identitas dan status sosial.
Menurut Budayawan Pamekasan Iskandar, adanya pergeseran nilai-nilai itu terlihat dengan adanya upaya persaingan antar tetangga untuk merayakan Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW secara besar-besar.
"Saat ini di sebagian tetangga saya sendiri sudah ada anggapan, merasa malu jika tidak menggelar Maulid Nabi. Sehingga, apabila dia tidak punya biaya terpaksa hutang dulu, untuk menggelar muludan," katanya dia.
Fenomena adanya pergeseran nilai dari sebelumnya bahwa Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW hanya sebatas syiar Islam menjadi identitas atau bahkan status sosial, dalam lima tahun terakhir ini.
Awalnya ketika itu, warga yang mampu menggelar perayaan Maulid Nabi sendiri dengan cara mengundang tetangganya datang ke rumahnya untuk bersama-sama membaca "Barzanji". Sebelumnya, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW hanya digelar di masjid, dan mushalla.
Masyarakat biasanya datang ke masjid dan Mushalla dengan membawa berbagai jenis makanan dan minuman seadanya dan di tempat itu mereka merayakan Maulid Nabi. Kemudian, makanan dan minuman yang mereka bawa dimakan secara bersama-sama.
"Kondisi yang terjadi saat ini kan tidak seperti itu lagi. Sehingga dengan merayakan Maulid Nabi dengan cara mengundang ke rumah-rumah warga itu, maka orang yang tidak mampu merasa tertekan untuk bisa merayakan di rumahnya dengan mengundang orang lain, seperti yang digelar tetangga lainnya yang mampu. Inilah yang saya maksud adanya pergeseran," terang Iskandar.
Dengan demikian, sambung Iskandar, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW tidak hanya sekedar syiar, namun juga menunjukkan status sosial seseorang, bahwa yang merayakan itulah yang berarti Muslim sebenarnya dan pecinta Nabi.
"Kondisi adanya pergeseran nilai ini, dari syiar Islam ke status sosial memang samar, akan tetapi sangat dirasakan oleh warga yang tidak mampu dan hidup dalam taraf ekonomi lemah," kata Iskandar menjelaskan. (antara/mukafi niam)

Alhamdulillah robbil ‘aalamiiin

Nahdalatul Ulama (NU) sebagai Ormas Islam berkecimpung dalam menyebarkan ajaran Ahlussunnah wal jamaah di tanah Indonesia telah menginjak umur 88 tahun, semoga kita sebagai kadernya selalu menegakkan Aqidah, Syariah Ahlussunnah wal jammaah, melalui berbagai kesempatan dan dari berbagai aspek kehidupan./

NU jangan hanya terlalu hadir di pedesaan dan berkembang biang di Ponpes, sekarang NU harus hadir dan mengisi seluruh lerung kehidupan, dan harus bisa menerima perubahan jaman tanpa harus meninggalkan tradisi NU itu sendiri.

NU dan warga Nahdliyiin harus kooperatif terhadap permasalahan yang ada dalam kehidupan masyarakat bawah, jangan hanya jual dalil dan jual pamor, tapi NU harus perduli terhadap kesengsaraan rakyat.

ingat NU didirikan oleh ULAMA, dari Ulama, dan untuk ULAMA. jadi segala bentuk kegiatan kita harus sejalan dengan cita-cita ulama.

wassalam.

Baitul Hikmah

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3fOcHfpzL874U3OhFwoDrMy_XJr8jNRvq4CxHXPB1Qa1NMdgEO48S7NakmR2xFHZqjXE51WZv72knbXASHUdyc1GU8Tf5-YnwwxSjbUevOc7QyMDbP8vmmEHOw7-RsYxH6mavOf1ZepM/s600/baitul-hikmah-sedang.png} Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Tasikmalaya {facebook#https://www.facebook.com/baitul.hikmah.99/} {twitter#https://twitter.com/yappabahik} {youtube#https://www.youtube.com/channel/#} {instagram#https://www.instagram.com/#/}
Diberdayakan oleh Blogger.